Lili Putih
Siang yang panas. Kemarau sepertinya mulai menjalar di
tengah-tengah hujan yang terkadang masih turun di malam hari. Seperti yang
diramalkan di berita tadi pagi, hujan sepertinya enggan menyapa hari ini. Hanya
matahari satu-satunya yang ada di atas sana. Menambah peluh orang yang berjalan
berlalu-lalang tanpa menggunakan alas kepala.
Aku tak suka
panas. Aku lebih memilih kehujanan daripada harus berjemur di bawah terik matahari.
Sinar matahari itu serasa membakar kulitku dan aku lebih menyukai air yang mengguyur bumi
daripada sinar ultraviolet yang menyengat.
Well, aku sedang menunggu seseorang. Aku
sekarang sedang berdiri di bawah pohon yang bunganya berwarna putih. Entah apa
namanya. Yang pasti pohon ini berjajar di sepanjang jalan ini. Di musim
kemarau, bunga-bunganya mulai rontok. Memenuhi jalanan dengan kelopaknya yang
layu, tidak kalah menarik dengan bunga sakura di musim gugur. Sayangnya tidak
banyak orang yang menyukai hal-hal seperti itu.
Tempat ini
sebenarnya cukup luas. Rumputnya tertata rapi karena petugas kebersihan rajin
membersihkannya. Bangku-bangku panjang berjejer di sepanjang pagar yang
memisahkan bagian dalam dan luar taman. Taman? Hmm, mungkin bisa dibilang
seperti itu.
Ku putar
kepalaku tiga ratus enam puluh derajat. Apakah hanya aku satu-satunya orang
yang ada di sini? Sepertinya tempat ini memang tidak selalu ramai. Jam berapa
ini? Mungkin jam 12, atau jam 1? Sepertinya orang-orang sedang mengisi perut
mereka di tempat-tempat makan. Sepi sekali. Di hari libur pun taman ini jarang
sekali terlihat pengunjungnya. Apalagi di hari kerja.
Orang yang
ku tunggu belum datang. Kalian bertanya siapa yang ku tunggu? Yah, aku menunggu
ibuku. Ibuku itu, satu-satunya orang yang tidak pernah mengeluh dan selalu
memberikan apa yang ku mau. Di zaman sekolah dulu, beliau selalu membawakanku
bekal. Takut kalau aku keseringan jajan di luar yang katanya tidak sehat lah,
banyak bahan kimia lah. Kekanakan? Tidak. Beliau memang sangat memperhatikan
asupan makananku. Maklum, ibuku adalah seorang perawat. Beliau bekerja di rumah
sakit di kota kecil ini.
Hm, aku
berharap kali ini ibu datang bersama ayah. Tapi, kasihan juga beliau.
Akhir-akhir ini beliau mengeluh tentang pinggangnya yang sering sakit. Mungkin
karena terlalu sering pulang pergi dari tempat kerjanya ke rumah, yang jaraknya
sekitar 50 kilometer. Dengan sepeda motornya yang sudah tua itu, setiap hari
ayah bekerja di luar kota. Ayahku seorang guru. Demi pengabdiannya kepada
negara, ayah tak pernah mengeluh jarak yang jauh untuk mencapai tempat
kerjanya.
Mereka
adalah hartaku yang paling berharga. Orang tuaku. Sejak aku pindah ke tempat
ini, ibu sering mengunjungiku. Paling tidak seminggu sekali dia pergi ke sini.
Sebenarnya aku kasihan kepada ibu. Tempat ini terlalu jauh dari rumahku. Tapi,
berapa kali ku cegah pun, ibuku akan tetap menjengukku. Benar-benar ibu yang
baik bukan?
Ku lihat
gerbang di sebelah kanan. Masih belum terbuka. Huh, terlambat setengah jam dari
biasanya. Aku bosan berada di sini. Andai saja ada yang bisa aku lakukan. Huft!
Mentari semakin menampakkan kekuasaannya di atas sana. Peluh semakin
bercucuran. Tak sedikit orang yang lalu lalang mengomel tak jelas tentang cuaca
hari ini.
Ku lihat
sekeliling sekali lagi. Ada segerombolan anak yang bermain layang-layang dengan
cerianya. Masa-masa itu, aku ingin kembali ke masa-masa ceria itu. Masa-masa di
mana aku bisa berlari, bermain, bernyanyi, sepuasku! Sekarang? Huh, apa
enaknya?
Semuanya
serba diatur. Semuanya serba berantakan. Iya bukan? Zaman sekarang mah serba individualis. Semua orang
serba mementingkan urusannya sendiri. Bahkan jarang sekali yang saling sapa
padahal mereka saling kenal. Ck! Untung ibuku bukan orang seperti itu. Oh,
sungguh beliau adalah ibu paling baik sedunia. Hehe. Agak melebih-lebihkan ya?
Nah, itu dia
ibu datang. Di tangan sebelah kirinya tertenteng tas kecil berwarna hitam.
Sedangkan di tangan kanannya tertenteng sebuah bungkusan. Hm, kira-kira apa ya?
Ketika ibu mendekat, aku tersenyum. Tapi sepertinya dia tidak melihat senyumku.
Ibu semakin memendekkan langkah
menujuku. Terlihat jelas wajah lelahnya. Keriput yang menghiasi wajah teduhnya
juga mulai bertambah. Ibu mengeluarkan bungkusan yang dibawanya. Bunga lili.
Bunga kesukaanku.
Ibu tersenyum. Ku balas senyum
singkatnya. Menurut ibu, senyumku sangat manis, karena aku mempunyai lesung
pipi. Lalu, diletakkan bungkusan itu di atas pusara yang bertuliskan namaku.
Ya, aku
sudah mati.
SELESAI
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar