Banjir : Tidakkah Kau Tahu?
Ketika musim hujan
tiba, dipastikan Jakarta akan terendam dengan banjir. Lalu, televisi selalu
menayangkan keadaan di berbagai daerah yang terkena banjir, 24 jam. Yang dari
dulu selalu aku tanyakan bukan apa penyebab banjir, atau mengapa banjir selalu
terjadi, tapi aku selalu penasaran dengan jawaban : mengapa mereka masih mau
tinggal di situ?
Menjadi warga kota
Jakarta selama kurang lebih dua tahun setidaknya mengajariku banyak hal. Jika
orang katakan masyarakat Jakarta itu individual, memang iya. Jika orang katakan
Jakarta macet, sangat benar. Jika orang bilang Jakarta itu tidak aman, memang
betul. Semua yang bilang tentang Jakarta, sebelum aku benar-benar pergi ke
sini, tidak ada yang salah. Macet, banjir, begitu kan ciri-ciri Jakarta?
Aku sempat
berkunjung di berbagai daerah. Mengenal beberapa orang termasuk masyarakat
Betawi. Mendalami kebudayaan yang ada. Aku pernah datang ke tempat menyenangkan
seperti mall, sampai yang tidak menyenangkan di kampung-kampung kumuh. Dari
situ mungkin aku tidak bertanya secara langsung, tetapi dari wajah dan sikap
yang mereka tunjukkan, mereka tidak ada pilihan lain. Tinggal di rumah petak
kardus 3x4 meter yang dihuni 5 sampai mungkin 10 orang pun mereka jalani. Makan
seadanya dari memulung atau mengemis. Dan ya, termasuk ketika mereka menjadi
korban banjir, mereka akan terima. Mereka tidak ada pilihan. Tidak ada pilihan
untuk tinggal di tempat lain, pun tidak ada biaya untuk membuat rumah yang
lebih layak.
Pertanyaannya
sekarang, bukan kerja pemerintah yang diragukan, tetapi apa yang sudah kita
sumbang demi keseimbangan alam kita? Apa yang kita lakukan untuk menanggulangi
banjir? Tidak ada, bukan? Meskipun ada, mungkin hanya satu persen sekian dari
jumlah penduduk kita yang peduli. Tidak pernahkan ada yang bertanya, untuk apa
meminta bantuan pemerintah jika kita tidak bergerak sendiri, kesadaran sendiri?
Alam tidak membutuhkan pemerintah, kawan, alam membutuhkan kita. Sadar tidak
yang menggembar-gemborkan pemerintah kerjanya tidak becus, tapi dirinya malah
menyumbang penyebab banjir? Membuang sampah sembarangan, misalnya. Lucu sekali
negeri ini. Semua orang memang tidak mau disalahkan, tapi belajar dari
pengalaman itu tidak buruk.
Sadar lah, penyebab
utama banjir mungkin karena tidak ada resapan air lah, daerah yang terlalu
padat lah, tapi tahu tidak jika masalah utama sebenarnya karena jalan yang
dilalui air menuju ke hulu terhalang bertumpuk-tumpuk sampah. Karena siapa?
Tentu saja kita! Dua hal yang menurutku Jakarta sedang membutuhkannya:
kesadaran masyarakat untuk membuang sampah di tempatnya, dan pembuangan akhir
sampah yang layak. Tahu kan, jika masyarakat Jakarta mempunyai hobi membuang
sampah di sungai? Nah, banjir itu lah yang mereka terima sebagai balasannya.
Alam menolak kawan, alam menolak sampah-sampah kita. Dia mengirim banjir untuk
menyadarkan kita. Tidakkah kau tahu?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar