Hal yang Sama itu Sebenarnya Berbeda
Setiap orang
menyukai hal yang berbeda. Meskipun ada beberapa diantaranya memiliki hal yang
sama, tapi setidaknya di beberapa bagian akan beda. Tidak percaya? Aku akan
membahasnya dalam hubungan orang tua dan anak, yang hebatnya terjadi di dalam
keluargaku.
Aku bersyukur di
lahirkan di keluarga yang lumayan mampu untuk sekedar menyekolahkanku di
Kedokteran. Aku tidak kaya, pun miskin. Aku sih lebih suka menyebutnya
'sederhana'. Singkat kata, aku terlahir sebagai anak terakhir dengan ayah dan
ibu seorang perawat. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan bau obat-obatan,
orang sakit, dan bau khas kesehatan lain. Meskipun dengan itu, temanku tidak
akan datang karena menahan muntah. Ayah dan ibuku sangat berharap anaknya juga
mengikuti jejak mereka, di dunia kesehatan. Aku masih ingat ketika ibuku selalu
mengajak ke Puskesmas desa, tempat kerjanya waktu itu. Kebetulan sekolahku
tidak jauh dari kantor ibu, jadi setiap pulang sekolah aku mampir ke sana
karena aku selalu pulang lebih pagi dari ibu dan mengambil kunci rumah. Dari
tempat kerja ibu juga, aku lebih mengenal apa itu sakit, apa itu orang sakit,
atau bagaimana cara menanganinya. Aku juga masih ingat ketika ada orang yang
datang ke sana,-orang sakit tentunya- akan mengambil nomor urut -yang saat itu
masih menggunakan kertas lusuh yang dibuat ibuku- lalu setelah dipanggil akan
berada di meja registrasi, ditanya ini itu, lalu masuklah si orang sakit itu ke
ruang periksa. Aku juga masih ingat ketika orang sakit itu harus mengaduh
kesatikan ketika disuntik, lalu diberi obat dan membayar di kasir.
Singkat cerita, di
kelas empat Sekolah Dasar, aku diikutkan lomba Dokter Kecil. Saat itu, lomba
itu adalah lomba yang paling populer selain lomba pramuka. Sebelumnya sekolahku
sendiri pernah mengikuti lomba ini pada waktu aku masih menginjak kelas 3, tetapi belum berhasil menjuarainya. Untuk maju ke
tingkat Kabupaten saja belum pernah. Lalu setahun setelahnya ketika aku
menginjak kelas 4, aku diikutkan. Lomba kira-kira masih sekitar satu atau dua
bulan -sudah lupa-, tapi ibu selalu 'mencekokiku' materi. Sibuk sekali jadwal
waktu itu. Setiap pulang sekolah, kami -team lomba yang terdiri dari aku,
temanku, dan kakak kelasku- diharuskan untuk mendatangi Puskesmas. Di sana,
kami menghapalkan seratus bahkan mungkin seribu jawaban serta pertanyaan
seputar kesehatan dalam buku tebal yang sudah lusuh. Bahkan tulisannya pun
masih diketik menggunakan mesin ketik. Dan ketika malam hari, ibu masih
mencekokiku lagi, entah itu disuruh mengahafal bagian mata dan fungsinya, ataupun
macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Dan yah, sesuatu yang
dikerjakan dengan kerja keras memang selalu membuahkan hasil. SD ku berhasil
lolos sampai ke Kabupaten dan mendapatkan juara dua.
Dari sana, aku
menyukai kesehatan. Aku menyukai bagaimana cara agar orang sakit bisa sembuh,
apa obat yang tepat untuk penyakit tertentu, ataupun hal kecil seperti
mengobati luka. Aku suka bagaimana cara membidai, cara mengetes golongan darah,
dan mengahafal beberapa jenis obat yang ada di lemari kerja ayahku. Intinya,
aku suka kesehatan. Bahkan di SMA, aku ikut ekstrakurikuler Palang Merah
Remaja, yang isinya tentu saja tentang kesehatan. Aku menyukainya, tentu saja.
Dan, hal itu tidak bertahan lama ketika ayahku meminta untuk melanjutkan studi
kuliahku di bidang kesehatan. Kenapa? Karena kau tahu kan jika kau mengambil
jurusan itu, kau akan dihadapkan dengan orang sakit sungguhan, mayat, bau rumah
sakit, apalagi yang paling parah harus ke rumah sakit dan menguntit dokter dan
perawat di sana yang menjelaskan kondisi pasien ini dan pasien itu. Apalagi
harus memandikan orang sakit, bahkan menunggu kamar mayat. Hah! BIG NO. Aku...
Mulai tidak menyukai kesehatan. Maksudku, aku menyukai kesehatan tidak dalam
bidang itu. Aku menyukai betapa senangnya menghafal jenis obat, tapi tidak
merawat orang sakit. Sejujurnya, aku benci rumah sakit, kenapa? Karena aku
takut melihat orang sakit, bahkan aku tidak suka sakit. Ketika anggota
keluargaku sakit pun aku akan menjauh, karena aku tidak tahan dengan apa yang
orang sakit rasakan. Rasanya seperti aku merasakan sakitnya juga.
Menginjak kelas 3
SMA, orang tuaku gencar sekali menasehatiku untuk masuk di jurusan kesehatan.
Akan senang sekali jika aku diterima di Kedokteran, menurut mereka. Tapi,
bagaimana jika hati tidak berkehendak. Orang tuaku tahu aku tidak suka orang
sakit dan sebagainya, jadi akhirnya mereka juga tidak terlalu memaksaku untuk
menjadi Dokter. Tapi, aku mendaftar di jurusan lain yang masih ada hubungannya
dengan kesehatan, yaitu Farmasi. Meskipun sebelumnya aku agak dipaksa juga
menjadi Perawat. HELL NO! Aku masih tidak ingin mengunjungi rumah sakit. Dan,
aku diterima di Farmasi di salah satu Universitas terkemuka di Jawa Timur. Ada
perasaan bahagia karena biasanya pendaftar PMDK tidak akan semudah itu diterima
di salah satu Fakultas Kedokteran. Tapi, ada perasaan lain seperi menyesal,
khawatir, dan sedih. Jika digabung, akan seperti "Benarkah
pilihanku?".
Tapi takdir kan bisa
mengubah segalanya, aku diterima di Universitas lain di Jakarta, dan aku
meninggalkan Farmasiku. Sedikit kecewa, tapi agak lega. Entahlah.
Yah, begitulah
ceritanya tentang bagaimana orang bisa menyukai hal yang seharusnya memang
berbeda. Meskipun dalam konteks kesehatan pun, ada beberapa yang masih aku
tidak sukai.
Setiap orang berhak
memilih pilihannya masing-masing, berhak memilih hal yang disukainya maupun
tidak. Jadilah orang yang berbeda, dan kau akan tahu bahagiannya menjadi orang
seperti itu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar