Hello, I'm Aji Nur Hakim. Welcome to my blog.
I write what I thought, and share what I wrote.
Read and enjoy!

Lili Putih

Tidak ada komentar
           Siang yang panas. Kemarau sepertinya mulai menjalar di tengah-tengah hujan yang terkadang masih turun di malam hari. Seperti yang diramalkan di berita tadi pagi, hujan sepertinya enggan menyapa hari ini. Hanya matahari satu-satunya yang ada di atas sana. Menambah peluh orang yang berjalan berlalu-lalang tanpa menggunakan alas kepala.
            Aku tak suka panas. Aku lebih memilih kehujanan daripada harus berjemur di bawah terik matahari. Sinar matahari itu serasa membakar kulitku dan  aku lebih menyukai air yang mengguyur bumi daripada sinar ultraviolet yang menyengat.
            Well, aku sedang menunggu seseorang. Aku sekarang sedang berdiri di bawah pohon yang bunganya berwarna putih. Entah apa namanya. Yang pasti pohon ini berjajar di sepanjang jalan ini. Di musim kemarau, bunga-bunganya mulai rontok. Memenuhi jalanan dengan kelopaknya yang layu, tidak kalah menarik dengan bunga sakura di musim gugur. Sayangnya tidak banyak orang yang menyukai hal-hal seperti itu.
            Tempat ini sebenarnya cukup luas. Rumputnya tertata rapi karena petugas kebersihan rajin membersihkannya. Bangku-bangku panjang berjejer di sepanjang pagar yang memisahkan bagian dalam dan luar taman. Taman? Hmm, mungkin bisa dibilang seperti itu.
            Ku putar kepalaku tiga ratus enam puluh derajat. Apakah hanya aku satu-satunya orang yang ada di sini? Sepertinya tempat ini memang tidak selalu ramai. Jam berapa ini? Mungkin jam 12, atau jam 1? Sepertinya orang-orang sedang mengisi perut mereka di tempat-tempat makan. Sepi sekali. Di hari libur pun taman ini jarang sekali terlihat pengunjungnya. Apalagi di hari kerja.
            Orang yang ku tunggu belum datang. Kalian bertanya siapa yang ku tunggu? Yah, aku menunggu ibuku. Ibuku itu, satu-satunya orang yang tidak pernah mengeluh dan selalu memberikan apa yang ku mau. Di zaman sekolah dulu, beliau selalu membawakanku bekal. Takut kalau aku keseringan jajan di luar yang katanya tidak sehat lah, banyak bahan kimia lah. Kekanakan? Tidak. Beliau memang sangat memperhatikan asupan makananku. Maklum, ibuku adalah seorang perawat. Beliau bekerja di rumah sakit di kota kecil ini.
            Hm, aku berharap kali ini ibu datang bersama ayah. Tapi, kasihan juga beliau. Akhir-akhir ini beliau mengeluh tentang pinggangnya yang sering sakit. Mungkin karena terlalu sering pulang pergi dari tempat kerjanya ke rumah, yang jaraknya sekitar 50 kilometer. Dengan sepeda motornya yang sudah tua itu, setiap hari ayah bekerja di luar kota. Ayahku seorang guru. Demi pengabdiannya kepada negara, ayah tak pernah mengeluh jarak yang jauh untuk mencapai tempat kerjanya.
            Mereka adalah hartaku yang paling berharga. Orang tuaku. Sejak aku pindah ke tempat ini, ibu sering mengunjungiku. Paling tidak seminggu sekali dia pergi ke sini. Sebenarnya aku kasihan kepada ibu. Tempat ini terlalu jauh dari rumahku. Tapi, berapa kali ku cegah pun, ibuku akan tetap menjengukku. Benar-benar ibu yang baik bukan?
            Ku lihat gerbang di sebelah kanan. Masih belum terbuka. Huh, terlambat setengah jam dari biasanya. Aku bosan berada di sini. Andai saja ada yang bisa aku lakukan. Huft! Mentari semakin menampakkan kekuasaannya di atas sana. Peluh semakin bercucuran. Tak sedikit orang yang lalu lalang mengomel tak jelas tentang cuaca hari ini.
            Ku lihat sekeliling sekali lagi. Ada segerombolan anak yang bermain layang-layang dengan cerianya. Masa-masa itu, aku ingin kembali ke masa-masa ceria itu. Masa-masa di mana aku bisa berlari, bermain, bernyanyi, sepuasku! Sekarang? Huh, apa enaknya?
            Semuanya serba diatur. Semuanya serba berantakan. Iya bukan? Zaman sekarang mah serba individualis. Semua orang serba mementingkan urusannya sendiri. Bahkan jarang sekali yang saling sapa padahal mereka saling kenal. Ck! Untung ibuku bukan orang seperti itu. Oh, sungguh beliau adalah ibu paling baik sedunia. Hehe. Agak melebih-lebihkan ya?
            Nah, itu dia ibu datang. Di tangan sebelah kirinya tertenteng tas kecil berwarna hitam. Sedangkan di tangan kanannya tertenteng sebuah bungkusan. Hm, kira-kira apa ya? Ketika ibu mendekat, aku tersenyum. Tapi sepertinya dia tidak melihat senyumku.
Ibu semakin memendekkan langkah menujuku. Terlihat jelas wajah lelahnya. Keriput yang menghiasi wajah teduhnya juga mulai bertambah. Ibu mengeluarkan bungkusan yang dibawanya. Bunga lili. Bunga kesukaanku.
Ibu tersenyum. Ku balas senyum singkatnya. Menurut ibu, senyumku sangat manis, karena aku mempunyai lesung pipi. Lalu, diletakkan bungkusan itu di atas pusara yang bertuliskan namaku.
            Ya, aku sudah mati.


SELESAI

Tidak ada komentar :

Posting Komentar