Hello, I'm Aji Nur Hakim. Welcome to my blog.
I write what I thought, and share what I wrote.
Read and enjoy!

Banjir : Tidakkah Kau Tahu?

Tidak ada komentar
Ketika musim hujan tiba, dipastikan Jakarta akan terendam dengan banjir. Lalu, televisi selalu menayangkan keadaan di berbagai daerah yang terkena banjir, 24 jam. Yang dari dulu selalu aku tanyakan bukan apa penyebab banjir, atau mengapa banjir selalu terjadi, tapi aku selalu penasaran dengan jawaban : mengapa mereka masih mau tinggal di situ?

Menjadi warga kota Jakarta selama kurang lebih dua tahun setidaknya mengajariku banyak hal. Jika orang katakan masyarakat Jakarta itu individual, memang iya. Jika orang katakan Jakarta macet, sangat benar. Jika orang bilang Jakarta itu tidak aman, memang betul. Semua yang bilang tentang Jakarta, sebelum aku benar-benar pergi ke sini, tidak ada yang salah. Macet, banjir, begitu kan ciri-ciri Jakarta?

Aku sempat berkunjung di berbagai daerah. Mengenal beberapa orang termasuk masyarakat Betawi. Mendalami kebudayaan yang ada. Aku pernah datang ke tempat menyenangkan seperti mall, sampai yang tidak menyenangkan di kampung-kampung kumuh. Dari situ mungkin aku tidak bertanya secara langsung, tetapi dari wajah dan sikap yang mereka tunjukkan, mereka tidak ada pilihan lain. Tinggal di rumah petak kardus 3x4 meter yang dihuni 5 sampai mungkin 10 orang pun mereka jalani. Makan seadanya dari memulung atau mengemis. Dan ya, termasuk ketika mereka menjadi korban banjir, mereka akan terima. Mereka tidak ada pilihan. Tidak ada pilihan untuk tinggal di tempat lain, pun tidak ada biaya untuk membuat rumah yang lebih layak.

Pertanyaannya sekarang, bukan kerja pemerintah yang diragukan, tetapi apa yang sudah kita sumbang demi keseimbangan alam kita? Apa yang kita lakukan untuk menanggulangi banjir? Tidak ada, bukan? Meskipun ada, mungkin hanya satu persen sekian dari jumlah penduduk kita yang peduli. Tidak pernahkan ada yang bertanya, untuk apa meminta bantuan pemerintah jika kita tidak bergerak sendiri, kesadaran sendiri? Alam tidak membutuhkan pemerintah, kawan, alam membutuhkan kita. Sadar tidak yang menggembar-gemborkan pemerintah kerjanya tidak becus, tapi dirinya malah menyumbang penyebab banjir? Membuang sampah sembarangan, misalnya. Lucu sekali negeri ini. Semua orang memang tidak mau disalahkan, tapi belajar dari pengalaman itu tidak buruk.

Sadar lah, penyebab utama banjir mungkin karena tidak ada resapan air lah, daerah yang terlalu padat lah, tapi tahu tidak jika masalah utama sebenarnya karena jalan yang dilalui air menuju ke hulu terhalang bertumpuk-tumpuk sampah. Karena siapa? Tentu saja kita! Dua hal yang menurutku Jakarta sedang membutuhkannya: kesadaran masyarakat untuk membuang sampah di tempatnya, dan pembuangan akhir sampah yang layak. Tahu kan, jika masyarakat Jakarta mempunyai hobi membuang sampah di sungai? Nah, banjir itu lah yang mereka terima sebagai balasannya. Alam menolak kawan, alam menolak sampah-sampah kita. Dia mengirim banjir untuk menyadarkan kita. Tidakkah kau tahu?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Hal yang Sama itu Sebenarnya Berbeda

Tidak ada komentar
Setiap orang menyukai hal yang berbeda. Meskipun ada beberapa diantaranya memiliki hal yang sama, tapi setidaknya di beberapa bagian akan beda. Tidak percaya? Aku akan membahasnya dalam hubungan orang tua dan anak, yang hebatnya terjadi di dalam keluargaku.

Aku bersyukur di lahirkan di keluarga yang lumayan mampu untuk sekedar menyekolahkanku di Kedokteran. Aku tidak kaya, pun miskin. Aku sih lebih suka menyebutnya 'sederhana'. Singkat kata, aku terlahir sebagai anak terakhir dengan ayah dan ibu seorang perawat. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan bau obat-obatan, orang sakit, dan bau khas kesehatan lain. Meskipun dengan itu, temanku tidak akan datang karena menahan muntah. Ayah dan ibuku sangat berharap anaknya juga mengikuti jejak mereka, di dunia kesehatan. Aku masih ingat ketika ibuku selalu mengajak ke Puskesmas desa, tempat kerjanya waktu itu. Kebetulan sekolahku tidak jauh dari kantor ibu, jadi setiap pulang sekolah aku mampir ke sana karena aku selalu pulang lebih pagi dari ibu dan mengambil kunci rumah. Dari tempat kerja ibu juga, aku lebih mengenal apa itu sakit, apa itu orang sakit, atau bagaimana cara menanganinya. Aku juga masih ingat ketika ada orang yang datang ke sana,-orang sakit tentunya- akan mengambil nomor urut -yang saat itu masih menggunakan kertas lusuh yang dibuat ibuku- lalu setelah dipanggil akan berada di meja registrasi, ditanya ini itu, lalu masuklah si orang sakit itu ke ruang periksa. Aku juga masih ingat ketika orang sakit itu harus mengaduh kesatikan ketika disuntik, lalu diberi obat dan membayar di kasir.

Singkat cerita, di kelas empat Sekolah Dasar, aku diikutkan lomba Dokter Kecil. Saat itu, lomba itu adalah lomba yang paling populer selain lomba pramuka. Sebelumnya sekolahku sendiri pernah mengikuti lomba ini pada waktu aku masih menginjak kelas 3, tetapi  belum berhasil menjuarainya. Untuk maju ke tingkat Kabupaten saja belum pernah. Lalu setahun setelahnya ketika aku menginjak kelas 4, aku diikutkan. Lomba kira-kira masih sekitar satu atau dua bulan -sudah lupa-, tapi ibu selalu 'mencekokiku' materi. Sibuk sekali jadwal waktu itu. Setiap pulang sekolah, kami -team lomba yang terdiri dari aku, temanku, dan kakak kelasku- diharuskan untuk mendatangi Puskesmas. Di sana, kami menghapalkan seratus bahkan mungkin seribu jawaban serta pertanyaan seputar kesehatan dalam buku tebal yang sudah lusuh. Bahkan tulisannya pun masih diketik menggunakan mesin ketik. Dan ketika malam hari, ibu masih mencekokiku lagi, entah itu disuruh mengahafal bagian mata dan fungsinya, ataupun macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Dan yah, sesuatu yang dikerjakan dengan kerja keras memang selalu membuahkan hasil. SD ku berhasil lolos sampai ke Kabupaten dan mendapatkan juara dua.

Dari sana, aku menyukai kesehatan. Aku menyukai bagaimana cara agar orang sakit bisa sembuh, apa obat yang tepat untuk penyakit tertentu, ataupun hal kecil seperti mengobati luka. Aku suka bagaimana cara membidai, cara mengetes golongan darah, dan mengahafal beberapa jenis obat yang ada di lemari kerja ayahku. Intinya, aku suka kesehatan. Bahkan di SMA, aku ikut ekstrakurikuler Palang Merah Remaja, yang isinya tentu saja tentang kesehatan. Aku menyukainya, tentu saja. Dan, hal itu tidak bertahan lama ketika ayahku meminta untuk melanjutkan studi kuliahku di bidang kesehatan. Kenapa? Karena kau tahu kan jika kau mengambil jurusan itu, kau akan dihadapkan dengan orang sakit sungguhan, mayat, bau rumah sakit, apalagi yang paling parah harus ke rumah sakit dan menguntit dokter dan perawat di sana yang menjelaskan kondisi pasien ini dan pasien itu. Apalagi harus memandikan orang sakit, bahkan menunggu kamar mayat. Hah! BIG NO. Aku... Mulai tidak menyukai kesehatan. Maksudku, aku menyukai kesehatan tidak dalam bidang itu. Aku menyukai betapa senangnya menghafal jenis obat, tapi tidak merawat orang sakit. Sejujurnya, aku benci rumah sakit, kenapa? Karena aku takut melihat orang sakit, bahkan aku tidak suka sakit. Ketika anggota keluargaku sakit pun aku akan menjauh, karena aku tidak tahan dengan apa yang orang sakit rasakan. Rasanya seperti aku merasakan sakitnya juga.

Menginjak kelas 3 SMA, orang tuaku gencar sekali menasehatiku untuk masuk di jurusan kesehatan. Akan senang sekali jika aku diterima di Kedokteran, menurut mereka. Tapi, bagaimana jika hati tidak berkehendak. Orang tuaku tahu aku tidak suka orang sakit dan sebagainya, jadi akhirnya mereka juga tidak terlalu memaksaku untuk menjadi Dokter. Tapi, aku mendaftar di jurusan lain yang masih ada hubungannya dengan kesehatan, yaitu Farmasi. Meskipun sebelumnya aku agak dipaksa juga menjadi Perawat. HELL NO! Aku masih tidak ingin mengunjungi rumah sakit. Dan, aku diterima di Farmasi di salah satu Universitas terkemuka di Jawa Timur. Ada perasaan bahagia karena biasanya pendaftar PMDK tidak akan semudah itu diterima di salah satu Fakultas Kedokteran. Tapi, ada perasaan lain seperi menyesal, khawatir, dan sedih. Jika digabung, akan seperti "Benarkah pilihanku?".

Tapi takdir kan bisa mengubah segalanya, aku diterima di Universitas lain di Jakarta, dan aku meninggalkan Farmasiku. Sedikit kecewa, tapi agak lega. Entahlah.

Yah, begitulah ceritanya tentang bagaimana orang bisa menyukai hal yang seharusnya memang berbeda. Meskipun dalam konteks kesehatan pun, ada beberapa yang masih aku tidak sukai.


Setiap orang berhak memilih pilihannya masing-masing, berhak memilih hal yang disukainya maupun tidak. Jadilah orang yang berbeda, dan kau akan tahu bahagiannya menjadi orang seperti itu.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Bahagia

Tidak ada komentar
Sebenarnya, apa itu bahagia?
Apa karena melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain?
Apa karena mencapai sesuatu yang diinginkan?
Atau karena membuat orang lain bisa bangga?

Sebenarnya, bagaimana ekspresi bahagia?
Apakah itu tertawa?
Apakah itu tersenyum?
Apakah justru menangis?

Sebenarnya, mengapa ada bahagia?
Apa karena sedih itu tidak baik?
Apa karena marah itu tidak wajar?

Atau karena putus asa itu memalukan?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Open Arms

Tidak ada komentar
Lying beside you here in the dark
Feeling your heartbeat with mine
Softly you whisper you're so sincere
How could our love be so blind

We sail on together
We drifted apart
And here you are by my side

So now I come to you with open arms
Nothing to hide, believe what I say
So here I am with open arms
Hoping you'll see what your love means to me
Open arms

Living without you living alone
This empty house seems so cold
Wanting to hold you wanting you near
How much I wanted you home

But now that you've come back
Turned night into day
I need you to stay

So now I come to you with open arms
Nothing to hide, believe what I say
So here I am with open arms
Hoping you'll see what your love means to me
Open arms

Nothing to see what your love means to me
Open arms~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Masa Lalu : Kenangan yang (Harus) Dikubur?

Tidak ada komentar
Kenapa beberapa orang suka membicarakan masa lalu? Tidakkah itu sulit mengungkap luka di setiap lembar catatannya?

Aku tidak suka masa lalu. Aku tidak suka mengungkit masa lalu. Beruntung sekali aku mempunyai ingatan yang lebih pendek dari orang kebanyakan, sehingga beberapa kenangan yang (mungkin) otakku pikir tidak penting, akan tersingkirkan begitu saja dari penyimpanan memorinya.

Tidakkah masa lalu itu harus ditutup? Tidakkah kita tatap masa depan untuk saja tanpa menoleh lagi ke masa lalu?

Aku...sangat tidak suka ketika orang mulai bertanya tentang masa lalu. Meskipun ada tawa di sana, akan lebih banyak duka yang terungkap. Latar belakang keluarga, teman, sekolah, aku tidak suka mengungkit-ungkitnya. Sepenting apakah orang, setinggi apakah derajadnya, untuk mengetahui masa lalu kita? Rahasia kita?


Memang tanpa masa lalu kita tak akan bisa sampai di detik ini, sampai sekarang kita berada. Tapi, aku...aku tetap tidak suka dengan masa lalu. Karena masa lalu itu harus dikubur. Masa lalu itu...menyakitkan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Tahun Baru

Tidak ada komentar
Ditulis pada 1 Januari 2014 pada 8:15 a.m.

Untuk sebagian besar orang, tahun baru adalah awal dari segala kegiatan yang akan dilakukan. Ada doa dan harapan yang dipanjatkan ketika tahun baru tiba. Sayangnya, pergantian tahun seringkali tidak dimaknai dengan baik.

Musik, kembang api, pesta. Haruskah? Haruskan tahun baru dirayakan begitu megahnya dengan semua itu? Apa manfaatnya? Apa untungnya buat kita? Mirisnya bahkan orang-orang awam yang hanya ikut-ikut tanpa tahu apa manfaatnya bagi mereka. Tidak kah sebaiknya mereka berkumpul bersama dengan keluarga di rumah? Memanfaatkan momen itu untuk berkumpul bersama dan berbagi cerita satu tahun yang telah mereka lewati? Bagiku, tahun baru hanyalah tahun baru. Ya, memang tahun baru banyak doa dan harapan yang harus kita ucapkan. Tapi, ya harus diiringi dengan kerja keras.

Aku tidak pernah benar-benar merayakan tahun baru. Ayah selalu berkata, "Tahun baru 1 Januari itu bukan tahun baru kita." Aku lahir di keluarga muslim. Maaf kepada pihak yang mungkin tidak berkenan, ayahku tidak pernah mengucapkan "Selamat natal", tidak pernah mengucapkan "Selamat tahun baru" di 1 Januari. Ayahku bahkan tidak suka merayakan ulang tahun. Intinya, ayahku tidak suka hura-hura dan menghabiskan banyak waktu untuk sesuatu yang menurutnya tidak penting. Mungkin karena itu aku jadi sedikit tertular kebiasaannya.

Ayahku hanya percaya bahwa tahun baru 'kita' jatuh pada 1 Muharram, bukan 1 Januari. Dia tidak suka (maaf) orang-orang Muslim merayakan tahun baru umat Nasrani. Ayahku tidak suka. Sebagai anaknya, karena dikelilingi oleh orang-orang pluralisme semenjak di Sekolah Menengah dan Universitas, selalu tidak mengindahkan perkataan ayah yang tidak boleh mengucapkan ini itu. Mungkin juga dorongan dari teman-teman untuk saling mengucapkan "Selamat tahun baru" atau "Selamat natal" supaya tidak dikatakan 'tidak toleran' terhadap perbedaan agama.

Ya, memang hal itu kembali ke individu masing-masing. Apakah individu itu percaya bahwa ini boleh, atau itu tidak, yang penting selama tidak menyakiti perasaan individu lain, maka hal itu tidak apa-apa.
Yang penting, tahun baru memang awal yang bagus. Tahun baru mungkin menjadi tahun untuk memulai sesuatu yang baru. Tapi, tetap ingat bahwa makna tahun baru itu menjadi tidak salah arti sebagai pesta semalam yang tiada akhir. Selalu ingat bahwa yang berlebihan itu selalu tidak bagus.


Selamat tahun baru! :-)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar