Hello, I'm Aji Nur Hakim. Welcome to my blog.
I write what I thought, and share what I wrote.
Read and enjoy!

Budaya Kita, Sebelum Budaya Lain Menyerang

Tidak ada komentar
(Social and Befriending Skills; Communication; &
Working Together and Collaboration Skills)
Aji Nur Hakim

Berbicara tentang Indonesia, hal yang paling sering kita dengar adalah budaya yang beranak pinak dari ujung barat sampai ujung timur. Selain itu, Indonesia juga terkenal dengan keramahtamahannya. Bicara soal ramah tamah, masyarakat Indonesia sangat menjaga adanya keselarasan komunikasi antar masyarakat. Misalnya di kampung-kampung biasanya diadakan rapat anggota masyarakat untuk musyawarah masalah di kampung tersebut, atau pengumuman yang disiarkan lewat toa masjid. Sebenarnya itu sederhana, tapi jarang terjadi di negara lain, apalagi negara maju yang sudah disibukkan dengan teknologi. 
Manusia masih saling menyapa satu sama lain, sebelum teknologi menyerang. Pernahkah Anda melihat orang di sekitar Anda ketika Anda sedang berada di kendaraan umum? Sedang apakah mereka? Coba perhatikan, adakah diantara mereka yang tidak memegang telepon genggam? Banyaknya teknologi yang semakin berkembang menjadikan percakapan yang terjadi di antara penumpang bus menjadi berkurang. Yang awalnya semua orang saling berbicara sekarang menjadi disibukkan membalas sms atau sekedar bertukar sapa di sosial media.
Saya punya sedikit cerita tentang pengalaman saya ketika naik kendaraan umum, angkot saat itu. Saya penumpang kelima yang naik setelah ibu-ibu yang membawa barang belanjaan, seorang gadis muda yang memasang headset, dan sepasang suami istri yang sudah berusia lanjut. Awalnya tidak ada percakapan yang terjadi sebelum seorang ibu-ibu dan sepasang suami istri muda yang merupakan anak ibu tersebut menaiki angkota. Dari bahasa yang mereka gunakan, saya tahu mereka orang Palembang. Mereka membicarakan sesuatu yang saya tidak tahu apa itu.
“Bang, turun di Pengadegan ya,” kata ibu itu kepada bapak sopir.
Tiga menit kemudian kami memasuki kawasan Pengadegan. Kemudian bapak sopirnya bilang,
“Pengadegan sebelah mana, Bu?”
Ya tidak salah kalau bapak sopir bertanya, daerah tersebut luas, tidak hanya dihuni satu dua rumah saja. Sementara angkot kami terus berlanjut, si ibu masih tidak tahu turun di sebelah mana.
“Itu lho bang, yang deket kaca pembesar”
Dalam hati saya jadi bingung, kaca pembesar kan banyak di daerah sini. Tau kan, yang dimaksud kaca pembesar oleh ibu ini ialah kaca di pertigaan jalan. Penumpang yang lain pun ikut bingung, ada yang mengerutkan kening.
“Yang ada jalan naik itu lho bang”
Sementara kedua anak ibu, sepasang suami istri ini malahan geli sendiri melihat ibu mereka yang masih bingung dengan alamat yang ingin mereka tuju.
Setelah mereka akhirnya turun dari angkot, ibu-ibu yang ada dengan belanjaan depan saya tiba-tiba berbicara kepada penumpang yg lain,
“Ya kan kaca pembesar banyak yak di sini” lalu saya dan gadis dengan headset tadi tersenyum.
Hal-hal semacam ini mungkin hal yang simpel yang sering kita temui di jalan, tapi sayang sekali di negara lain budaya saling menyapa ini tidak ada dan tidak pernah terjadi.
Teman saya pernah bercerita, sewaktu dia sedang berada di bandara Singapore, tidak ada sapaan yang terjadi, tidak ada pembicaraan antar orang. Semua orang sibuk dengan kegiatannya dan urusannya masing-masing. Tapi bukan berarti mereka tidak ramah.
Sayangnya, budaya saling sapa kita juga terancam punah. Teknologi yang kita pakai sekarang ini mengancam kita untuk tidak melakukan pembicaraan dengan orang lain. Padahal berbicara dengan orang lain atau orang yang tidak kita kenal bisa mengurangi jenuh yang kita rasakan.
Cerita lain pun terjadi. Waktu itu saya sedang melakukan perjalanan menggunakan Trans Jakarta. Kebetulan tidak seperti biasanya, bus yang saya tumpangi bukanlah bus yang biasa saya tumpangi untuk trayek yang telah ditentukan (pintunya geser). Lima menit Trans Jakarta berjalan dan tibalah di halte selanjutnya. Seorang ibu-ibu masuk dan berdiri di samping saya. Saat itu memang keadaan tidak penuh sesak, tapi tempat duduk tidak ada yang kosong. Beliau menyadari keberadaan saya, lalu saya disapa.
“Biasanya busnya ngga kayak gini ya?”
“Iya, Bu.
“Iya nih saya aja sampe kaget lalu tanya ke pak kondekturnya bener ini jurusannya”
“Iya sih Bu saya juga baru pertama ini dapet bus yang bagusan”
Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Saya mendapat tempat duduk dan ibu itu juga, selang 3 tempat duduk yang saya tempati. Perjalanan saya masih panjang karena tujuan saya adalah halte terakhir jalur Trans Jakarta ini. Di halte berikutnya, pintu terbuka. Saya berpaling ke pintu, ibu itu turun. Hal yang tidak saya duga terjadi, dan menurut saya itu hal yang menyenangkan untuk saya. Ibu tadi tersenyum ke saya dan bilang,
“Saya turun di sini ya, Dek”
Saya hanya menjawab “iya” karena beberapa detik berikutnya pintu mulai tertutup. Sederhana, tapi menyenangkan untuk saya. Kenapa? Di saat di kendaraan umum bisa berbincang dengan orang yang tidak saya kenal itu terkadang suatu hal yang bisa mempersempit pemisah kasat mata antara dua orang yang saling berkomunikasi; harta, jabatan, umur, dll.
Dulu saya berfikir Jakarta itu tempat segala keadaan yang negatif; pencopetan, pemalakan, pencurian, dsb. Maka, ketika saya di tempat umum terutama di angkutan umum, kewaspadaan saya meningkat, dan saya jarang sekali berkomunikasi dengan orang lain. tapi ketika orang lain terutama orang yang lebih tua dari saya mengajak saya berbicara, saya merasa jika saya dihargai sebagai seorang yang lebih muda dari dia. Keberadaan saya diakui. Bayangkan saja bagaimana jika semua orang di dunia ini tidak pernah bertukar sapa ketika mereka bertemu. Semua orang memulai memandang telepon genggamnya dan tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Untungnya Indonesia masih punya sedikit warisannya yang berharga yaitu budaya saling sapa, meski sedikit demi sedikit dan bisa kapan saja akan luntur. Di Jawa, adat istiadat seperti ini masih sangat sering terjadi. Percakapan sederhana saja, tapi bisa membuat orang yang diajak berbicara merasa dihargai, merasa dirinya ada.
Komunikasi itu bisa dibilang sebagai sesuatu yang kita butuhkan sehari-hari. Bahkan tanpa berkomunikasi, manusia tidak akan bisa berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi sendiri tidak hanya berupa lisan, tapi juga tulisan dan bahasa isyarat untuk tuna rungu. 
“One of the most important components of communication process is the human personality that has a major impact on any communication process, regardless of the context in which take place.” (Popescu, 2012)
“Komponen paling penting dalam proses komunikasi adalah kepribadian manusia yang mempunyai efek yang sangat besar dalam proses komunikasi, terlepas dari konteks tempat terjadinya komunikasi tersebut” (Popescu, 2012)
Sehebat apapun orang yang pandai berbicara, atau mempunyai interpersonal yang sangat baik, jika lawan yang diajak bicara tidak mempunyai kepribadian yang sama, maka komunikasi yang diharapkan tidak akan berjalan baik juga. Tapi menurut saya juga, kepribadian orang tidaklah cukup untuk mendukung komunikasi yang baik, tapi juga dengan siapa orang tersebut berkomunikasi. Misalnya, kepribadian saya adalah saya orang yang sangat pendiam. Saya akan berbicara seperlunya kepada orang yang tidak saya kenal. Ketika saya bersama teman dekat saya, saya akan lebih leluasa bercerita apapun, karena saya nyaman dan lebih kenal dengan mereka.
Karena tujuan komunikasi adalah untuk menyampaikan informasi, maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara atau bentuk komunikasi itu dapat diterima dan diartikan sama oleh orang lain. Bayangkan, bagaimana jika tidak ada kesepakatan di dunia bahwa angka 1 dibaca satu. Bisa saja ketika kesepakatan itu tidak terjadi, di satu sisi orang bisa mengatakan itu angka dua, di sisi lain orang bisa berkata angka tiga. Kesepakatan itu yang akhirnya juga membantu manusia untuk berkomunikasi dengan konteks yang sama.
Masih berhubungan dengan komunikasi, berteman juga membutuhkan komunikasi yang baik. Apa alasan utama seseorang menjadi teman? Menurut pengalaman saya, komponen utama adalah adanya pengertian dan komunikasi yang efektif. Jika saya merasa tidak cocok dengan orang yang saya ajak bicara, maka orang tersebut bukan merupakan teman terdekat saya yang bisa saya ajak untuk berdiskusi. Meski sebenarnya pencarian teman adalah suatu proses juga. Katakanlah saya mempunyai 11 sahabat dekat di kampus ini. Sebelumnya, ketika pertama kali masuk ke kampus, saya dan teman saya itu tidak saling kenal. Lambat laun ketika perkuliahan dimulai dan tahu sifat satu sama lain, maka saya akan memilih teman saya tersebut menjadi teman dekat.
Teori tentang pertemanan atau befriending sudah banyak dikemukakan, salah satunya adalah teori dari Philip dan Spratt (2007) yang mengatakan bahwa:
Companionship/befriending as having the objective of building a trusting relationship over time with the aim of combating isolation. A growth in confidence and increase in involvement in community activities by the client is desirable but not essential. (Philip&Spratt, 2007, hlm.30)

Persahabatan/pertemanan memiliki tujuan untuk membangun hubungan saling percaya dari waktu ke waktu dengan tujuan untuk memerangi isolasi. Pertumbuhan kepercayaan dan peningkatan dalam kegiatan masyarakat oleh orang yang ingin berteman sangat diinginkan tetapi tidak penting. (Philip&Spartt, 2007, hlm.30)
Meski berteman merupakan hal yang mudah, masih banyak orang di dunia ini yang tidak berteman. Ada alasan-asalan seperti “dia tidak bisa berbaur”, “dia menyebalkan”, “dia tidak bisa dipercaya”, dan sebagainya, sehingga seseorang susah untuk mempunyai teman. Di Indonesia sendiri saya jarang melihat orang yang tidak mempunyai teman. Faktanya, di luar negeri banyak orang yang tidak memiliki teman. Sampai-sampai ada beberapa organisasi yang memfasilitasi untuk orang-orang yang tidak memiliki teman bisa berteman.
Memiliki seorang teman juga bisa mengasah social skill kita, karena salah satu cara untuk bersosialisasi adalah dengan berteman. Orang yang mempunyai banyak teman biasanya adalah orang yang suka bersosialisasi. Sebaliknya, orang yang biasanya mempunyai sedikit teman, biasanya orang tersebut tidak suka bersosialisasi. Tetapi tidak pasti jika orang yang mempunyai sedikit teman tidak bisa bersosialisasi. Mungkin saja dia tidak mau bersosialisasi atau kepribadian dia yang tidak mau berteman dengan orang yang tidak sesuai dengan target atau kepribadian dia.
Dengan mempunyai teman yang cocok, maka jika kita ingin melaksanakan kerja kelompok pun akan cocok. Jika kita sudah tahu sifat masing-masing orang, dan saling mengerti dengan sifat orang lain itu, meski sebenarnya bertentangan sekali dengan sifat kita, bekerja dengan teman akan lebih menyenangkan.
Menurut Philip dan Spartt (2007), elemen-elemen yag mempengaruhi pertemanan yang baik (a good befriending relationship) adalah:
1.      Supportive
Dalam pertemanan, yang harus diperhatikan paling utama adalah sikap saling support. Jika seorang teman sedang kesusahan, bukan berarti kita harus meninggalkannya, tapi justru kita harus mendukung dia supaya dia tidak stres dan dari situasi sulit yang dia hadapi.
2.      Nurturing
Selain mendukung, seorang teman juga harus bisa melihat situasi dan membantunya dalam mengatasi emosi yang meluap-luap.
3.      Developmental
Pertemanan sebaiknya tidak berkutat di titik tertentu, tapi juga berkembang setiap waktu. Misalnya hari ini berteman dengan 10 orang, besok bertambah menjadi 15 orang. Selain untuk menambah jumlah teman, hal itu juga bermaksud untuk mengembangkan keterampilan sosial.
4.      Trusting
Dalam pertemanan, kepercayaan itu penting. Jangan sampai mengaku berteman tapi akhirnya menjadi bermusuhan dikarenakan tidak adanya saling percaya.
5.      Open-ended time commitment
Komitmen juga diperlukan dalam pertemanan. Jika tidak ada komitmen, maka pertemanan tidak akan berlangsung lama.
6.      Consistency
Konsisten hampir sama dengan komitmen, yaitu pertemanan tidak akan bertahan tanpa adanya kekonsistenan untuk berteman.
Sebagai warna negara Indonesia, budaya saling sapa dan berteman sangat dijaga sekali. Meski akhir-akhir ini agak sedikit luntur, kemampuan orang Indonesia untuk saling sapa dan berteman sangat baik daripada masyarakat di dunia. Jika dilihat kembali, budaya saling sapa kita secara tidak langsung akan berpengaruh kepada cara kita berteman, cara kita bersosialisasi, dan cara kita untuk memerlakukan sesama kita. Maka, meskipun teknologi sudah merebut budaya kita sedikit demi sedikit, sebagai warga negara yang baik, sebaiknya kita tetap mempertahankan budaya tersebut sehingga budaya kita tetap ada selamanya.

Source:
Philip, K., & Spratt, J. (2007). A synthesis of published research on mentoring and befriending. Retrieved from http://www.mandbf.org/wp-content/uploads/2011/03/Synthesis-of-published-research-MBF-report-Kate-Philip.pdf
Popescu, M. (2012). Psychology of communication- between myth and reality. Retrieved from http://www.hrmars.com/admin/pics/1045.pdf

Tidak ada komentar :

Posting Komentar